Rabu, 31 Agustus 2016

Buah Pemikiran dan Penelitian Tentang Penagajaran dan Penggunaan Bahasa Jawa


Berikut ada 3 artikel yang terkait dangan bahasa Jawa. 

1. PENGAJARAN BAHASA JAWA DI SD DAN SMP: PEMIKIRAN KE ARAH SINERGINYA ANTARA KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PEMBINAAN BAHASA DAERAH DI LAPANGAN
Udjang Pr. M. Basir (Dosen Bahasa Jawa FBS Universitas Negeri Surabaya.

2. Ketimpangan Gender, Peran Buruh, Negara, dan Kapital:
Sebuah Pengantar Memahami Drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah
Oleh Tubiyono

Abstrak
Dalam makalah ini diuraikan pendekatan ekstrinsik untuk membahas Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah. Pendekatan ekstrinsik, utamanya tentang tidak adanya kesetaraan gender sebagai akibat dominannya budaya patriarkhi. Ketimpangan gender semakin tampak ketika dikaitkan dengan kehidupan buruh dan dikorelasikan dengan kapital dan negara. Masalah-masalah (ekstrinsik) tersebut sangat berpengaruh terhadap lahirnya sebuah karya sastra. Oleh karena itu, setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami dengan baik karya yang dimaksud.

Pendahuluan
Sebuah karya sastra dapat dikaji melalui pendekatan ekstrinsik atau pun pendekatan intrinsik (Wellek, 1989:7 - 155). Pendekatan ekstrinsil lebih memfokuskan unsur eksternal, misalnya masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang dapat membentuk atau mewarnai sebuah karya sastra. Sebaliknya pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang memfokuskan unsur-unsur internal karya itu sendiri misalnya penokohan, plot, bahasa, dan sebagainya. Dalam tulisan ini akan dibahas masalah-masalah yang dapat dikategorikan pendekatan ekstrinsik sebagai bekal untuk memahami naskah drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah khususnya dari perspektif gender, peran buruh, dan negara.

http://www.tubiyono.com/belajar-bahasa/12-makalah/22-ketimpangan-gender-peran-buruh-negara-dan-kapital-sebuah-pengantar-memahami-drama-marsinah-nyanyian-dari-bawah-tanah.html

3.       Pelindungan Bahasa Daerah dalam Kerangka Kebijakan Nasional Kebahasaan
Sugiyono


Pendahuluan
Indonesia sangat kaya dengan bahasa daerah dan apalagi sastra daerah. Kekayaan itu di satu sisi merupakan kebanggaan, di sisi lain menjadi tugas yang tidak ringan, terutama apabila memikirkan bagaimana cara melindungi, menggali manfaat, dan mempertahankan keberagamannya. Dalam Ethnoloque (2012) disebutkan bahwa terdapat 726 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan berkembang, tetapi tidak dapat diingkari bahwa sebagian besar bahasa itu akan punah. Menurut UNESCO, seperti yang tertuang dalam Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing, di Indonesia terdapat lebih dari 640 bahasa daerah (2001:40) yang di dalamnya terdapat kurang lebih 154 bahasa yang harus diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa yang benar-benar telah mati. Bahasa yang terancam punah terdapat di Kalimantan (1 bahasa), Maluku (22 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera (67 bahasa), Sulawesi (36 bahasa), Sumatra (2 bahasa), serta Timor-Flores dan Bima-Sumbawa (11 bahasa). Sementara itu, bahasa yang telah punah berada di Maluku (11 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera, Sulawesi, serta Sumatera (masing-masing 1 bahasa).
Dalam keadaan itu, dapat dipastikan bahwa bahasa Indonesia dapat hidup dan berkembang secara lebih baik. Tuntutan komunikasi di daerah urban serta komunikasi di bidang politik, sosial, ekonomi, dan iptek di Indonesia memberi peluang hidup yang lebih baik bagi bahasa Indonesia walaupun bahasa Indonesia ini – sebagai bahasa nasional dan bahasa negara – hanya menempati peringkat kedua dilihat dari nilai ekonominya. Dapat diduga, posisi paling tinggi ditempati oleh bahasa asing, kedua bahasa Indonesia, dan terakhir adalah bahasa daerah. Artinya, dengan bahasa Indonesia, kesempatan orang Indonesia untuk meraih peluang ekonomi lebih besar daripada mereka yang hanya menguasai bahasa daerah, meskipun masih lebih rendah dari peluang mereka yang menguasai bahasa asing.
Hilangnya daya hidup bahasa daerah pada umumnya disebabkan oleh pindahnya orang desa ke kota untuk mencari penghidupan yang dianggap lebih layak dan perkawinan antaretnis yang banyak terjadi di Indonesia. Masyarakat perkotaan, yang pada umumnya merupakan masyarakat multietnis atau multilingual, memaksa seseorang harus meninggalkan bahasa etnisnya dan menuju bahasa nasional.  Cara itu dianggap lebih baik daripada harus bersikap divergensi atau konvergensi dengan bahasa etnis yang lain. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kompromistis dalam sebuah perkawinan antaretnis. Pada umumnya, bahasa etnis setiap orang tua akan ditinggalkan dan bahasa Indonesia kemudian digunakan dalam keluarga itu karena bahasa itu dianggap sebagai bahasa yang dapat menghubungkan mereka secara adil.
Urbanisasi dan perkawinan antaretnis tidak dapat dicegah, bahkan angka urbanisasi dan perkawinan antaretnis cenderung meningkat. Dalam kondisi itu, akankah kita diam saja menghadapi tersingkirnya bahasa daerah? Apa kebijakan pemerintah untuk melindungi bahasa dan sastra daerah di Indonesia? Tulisan ini akan membahas kebijakan pemerintah dalam melindungi bahasa dan sastra daerah, termasuk apa yang sudah dilakukan dan apa yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
Bahasa Daerah dan Peraturan Perundang-Undangan
Pengaturan tentang bahasa daerah dalam peraturan perundang-undangan bukanlah hal utama, kecuali dalam beberapa perda. Pengaturan penggunaan bahasa daerah menjadi pelengkap pengaturan tentang bahasa Indonesia atau bahasa negara. Dalam Undang-Undang  Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional – termasuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 yang menjadi cikal bakal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 –penggunaan bahasa daerah diatur sebagai pelengkap penggunaan bahasa Indonesia yang diwajibkan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia. Bahasa daerah boleh digunakan pada tahap awal pendidikan untuk menyampaikan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Senada dengan itu, bahasa asing dapat pula digunakan sebagai bahasa pengantar untuk mendukung pemerolehan kemahiran berbahasa asing peserta didik. Baik bahasa daerah maupun bahasa asing mempunyi fungsi pendukung bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama dalam sistem pendidikan nasional.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas mejadi bukti bahwa sesungguhnya Indonesia sudah sejak tahun 1950 telah menerapkan prinsip EFA (education for all) yang dicetuskan oleh Unesco baru pada tahun 1990-an. Penggunaan bahasa daerah sebagai pengantar dunia pendidikan merupakan upaya menjangkau peserta didik yang belum mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Hal itu sekaligus juga menjadi bukti bahwa Indonesia juga telah menerapkan program MLE (multilingual education) yaitu program pendidikan yang memanfaatkan bahasa pertama sebagai bahasa pengantar di peringkat awal untuk kemudian suatu saat – umumnya pada kelas III atau IV – beralih ke bahasa nasional. Program MLE itu baru dikenalkan oleh Unesco pada tahun 2000-an.
Pelindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan ayat itu, negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing. Selain itu, negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Kebebasan yang diberikan UUD 1945 bukan berarti kebebasan yang tanpa pembatasan karena hingga pada batas tertentu pengembangan dan penggunaan bahasa daerah pasti akan berbenturan dengan ketentuan lain. Untuk keperluan bernegara, kebebasan penggunaan bahasa daerah yang diamanatkan itu akan terbentur dengan batas penggunaan bahasa negara. Untuk keperluan hidup dan pergaulan sosial, keleluasaan penggunaan satu bahasa daerah harus juga menghormati penggunaan bahasa daerah lain. Dengan kata lain, keleluasaan penggunaan dan pengembangan bahasa daerah dalam banyak hal juga tidak boleh melanggar norma “sosial” dan norma perundang-undangan yang ada.
Untuk menjamin hubungan harmonis masyarakat Indonesia atas penggunaan bahasanya, Pasal 36C UUD 1945 mengamanatkan bahwa perihal bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus diatur dalam sebuah undang-undang. Amanat pasal itulah yang melahirkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Khusus tentang bahasa negara, pengaturannya dituangkan dalam Bab III, mulai Pasal 25 sampai dengan Pasal 45 dalam undang-undang teresebut. Ibarat sisi mata uang, pengaturan tentang bahasa negara, tentu berkaitan dengan pengaturan bahasa yang bukan bahasa negara, yang dalam hal itu berupa bahasa daerah dan bahasa asing.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang disahkan berlakunya pada tanggal 9 Juli 2009 mengatur empat subtansi pokok, yaitu bendera negara, bahasa negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Dalam undang-undang itu, bahasa Indonesia dibatasi sebagai bahasa yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.
Bahasa daerah diberi batasan sebagai bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, bahasa asing diberi batasan sebagai bahasa di Indonesia selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, baik bahasa daerah maupun bahasa asing, memegang fungsi pendukung bagi bahasa Indonesia. Sebagai pendukung, bahasa daerah dan bahasa asing dapat digunakan apabila fungsi bahasa Indonesia tidak dapat dijalan secara efektif.
Dalam hal penggunaan, ditetapkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan;  dokumen resmi negara; pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri; pengantar dalam pendidikan nasional; pelayanan administrasi publik; nota kesepahaman atau perjanjian; forum resmi yang bersifat nasional atau forum resmi yang bersifat internasional di Indonesia; komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta; laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan; penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia; nama geografi di Indonesia; nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, merek jasa, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia; informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia;  rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum; dan informasi melalui media massa. Dalam kelima belas ranah penggunaan itu, bahasa daerah (dan/atau bahasa asing) dapat digunakan juga untuk mendukung fungsi bahasa Indonesia hingga batas tertentu. Dalam hal layanan publik, misalnya, bahasa daerah dan bahasa asing dapat menyertai penggunaan bahasa Indonesia dengan tetap mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia. Pengutamaan itu dapat diwujudkan dalam bentuk pola urutan, ukuran tulisan, atau kemenonjolan tulisan itu.
Berkaitan dengan upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 memberikan kewenangan dan kewajiban penanganan bahasa dan sastra Indonesia kepada pemerintah pusat dan memberikan kewenangan dan kewajiban penangan bahasa dan sastra daerah kepada pemerintah daerah. Akan tetapi, dalam hal itu semua pemerintah pusat diberi juga kewenangan merumuskan kebijakan nasional kebahasaan yang di dalamnya juga memuat kebijakan tentang apa dan bagaimana pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah itu harus dilakukan. Pemerintah daerah juga diberi kewajiban mendukung pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Indonesia. Sebaliknya, pemerintah pusat juga harus memberikan dukungan, baik dukungan pendanaan maupun kepakaran, kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah.
Kebijakan Penanganan Bahasa Daerah
Sejak tahun 1970-an penanganan bahasa di Indonesia didasarkan pada ­Politik Bahasa Nasional dan Keputusan Kongres Bahasa Indonesia.  Sejak tahun 2004, Politik Bahasa Nasional dan keputusan kongres itu lebih menjadi draf RUU Kebahasaan yang akhirnya lahir dalam bentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pada tanggal 9 Juli 2009. Selanjutnya, sejak tahun 2009 itu, penanganan bahasa di Indonesia, baik bahasa negara, bahasa daerah, maupun bahasa asing, didasarkan pada undang-undang itu.
Berdasarkan Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, penanganan bahasa dan sastra daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan dalam pelaksanaan tanggung jawab itu, pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan nasional kebahasaan. Selain berupa pembagian tugas yang lebih terperinci, koordinasi itu dapat juga berupa fasilitasi kepakaran dan dukungan sumber daya.
Penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah. Dalam pengembangan bahasa dilakukan upaya memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, dan pengembangan laras bahasa. Dalam pembinaan bahasa dilakukan upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa itu. Sementara itu, upaya pelindungan dilakukan dengan menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
Upaya pengembangan, pembinaan, dan pelestarian bahasa dilakukan terhadap objek bahasa dan sastra berdasarkan kondisi atau vitalitasnya. Pada tahun 2002 dan 2003, UNESCO dengan bantuan kelompok linguis internasional menetapkan kerangka untuk menentukan vitalitas bahasa untuk membantu pemerintah membuat kebijakan penanganan bahasa di negaranya. Kelompok itu menetapkan sembilan kriteria untuk mengukur vitalitas bahasa. Kesembilan faktor yang dijadikan kriteria vitalitas suatu bahasa adalah jumlah penutur, proporsi penutur dalam populasi total, ketersediaan bahan ajar, respons bahasa terhadap media baru, tipe dan kualitas dokumentasi, sikap bahasa dan kebijakan pemerintah dan institusi, peralihan ranah penggunaan bahasa, sikap anggota komunitas terhadap bahasanya, serta transmisi bahasa antargenerasi.
Berdasarkan kriteria itu, vitalitas bahasa digolongkan menjadi enam kelompok (baca Salminen, 1999), yaitu
  1. bahasa yang punah (extinct languages), bahasa tanpa penutur lagi;
  2. bahasa hampir punah (nearly extinct languages), bahasa dengan sebanyak-banyaknya sepuluh penutur yang semuanya generasi tua;
  3. bahasa yang sangat terancam (seriously endangered languages), bahasa dengan jumlah penutur yang masih banyak, tetapi anak-anak mereka sudah tidak menggunakan bahasa itu;
  4. bahasa terancam (endangered languages), bahasa dengan penutur anak-anak, tetapi cenderung menurun;
  5. bahasa yang potensial terancam (potentially endangered languages) bahasa dengan banyak penutur anak-anak, tetapi bahasa itu tidak memiliki status resmi atau yang prestisius;
  6. bahasa yang tidak terancam (not endangered languages), bahasa yang memiliki transmisi ke generasi baru yang sangat bagus.
Bahasa di Indonesia mempunyai jumlah penutur yang sangat beragam. Vitalitas bahasa daerah di Indonesia menyebar dari status yang paling aman hingga yang benar-benar punah. Di antara bahasa di Indonesia, terdapat tiga bahasa yang penuturnya lebih dari 10 juta jiwa, yaitu bahasa Jawa (penuturnya 84,3 juta jiwa), bahasa Sunda (penuturnya 34 juta jiwa), dan bahasa Madura (penuturnya 13,6 juta jiwa).
Penanganan bahasa daerah diklasifikan berdasarkan pengelompokkan vitalitas bahasa tersebut. Pengembangan dan pembinaan dilakukan terhadap bahasa masih dalam status tidak terancam (aman), yaitu bahasa yang digunakan oleh penutur dari generasi muda sampai dengan generasi tua hampir terdapat dalam semua ranah, dan terhadap bahasa yang mempunyai potensi terancam, yaitu bahasa yang penutur anak-anaknya masih banyak, tetapi bahasa itu tidak memiliki status resmi atau status yang prestisius. Bahasa dalam vitalitas kedua itu masih dapat direvitaslisasi. Dengan pengembangan bahasa itu, kita akan mempunyai korpus yang memadai untuk membahasakan apa saja, mempunyai akselerasi yang bagus terhadap dunia pendidikan dan perkembangan iptek, serta dapat mengantisipasi munculnya media baru. Pembinaan dilakukan agar bahasa itu mempunyai transmisi antargenerasi yang baik, baik transmisi melalui dunia pendidikan maupun transmisi melalu interaksi dalam ranah keluarga. Termasuk dalam upaya pengembangan dan pelindungan adalah memantapkan status bahasa, mengoptimalkan dokumentasi, serta menumbuhkan sikap positif penuturnya.
Pelindungan terhadap bahasa dilakukan sekurang-kurangnya dua tingkat, yaitu tingkat dokumentasi dan tingkat revitalisasi. Pelindungan bahasa di tingkat dokumentasi akan dilakukan pada bahasa yang sudah tidak ada harapan untuk digunakan kembali oleh masyarakatnya. Bahasa yang dalam keadaan hampir punah dan bahasa yang sangat teracam hanya dapat dilindungi dengan mendukokumentasikan bahasa itu sebelum bahasa itu punah yang sebenarnya. Dokumentasi itu penting untuk menyiapkan bahan kajian jika suatu saat diperlukan.
 Pelindungan terhadap bahasa yang masih digunakan oleh penutur dari sebagian generasi muda dalam hampir semua ranah atau oleh semua generasi muda dalam ranah keluarga dan agama serta kegiatan adat dilakukan revitalisasi untuk pelestarian. Untuk revitalisasi itu, diperlukan tahap pendahuluan yang meliputi pedokumentasian, pengkajian, dan penyusunan bahan revitalisasi, seperti kamus, tata bahasa, dan bahan ajar. Untuk bahasa yang akan direvitalisasi, harus disiapkan sistem ortografi yang memungkinkan bahasa itu diterima dalam media baru.
Dalam hal sastra, pengembangan akan dilakukan terhadap sastra yang bermutu dan bernilai luhur. Sastra yang seperti itu juga akan didukung upaya pembinaan agar tradisi bersastra di kalangan sastrawan pemula dan penikmat sastra tumbuh secara baik. Pelindungan sastra lisan dilakukan untuk merevitalisasi sastra yang hanya tinggal berfungsi sebagai sarana adat, ibadah, atau hiburan. Pelindungan sastra tulis, baik dalam bentuk fisik maupun nilai yang terkandung di dalamnya, dilakukan terhadap karya sastra yang bernilai luhur untuk aktualisasi. Aktualisasi yang dimaksud adalah penuangan dalam bentuk aktual atau mengadaptasi karya itu melalui alih aksara, alih bahasa, dan alih wahana menjadi karya, seperti seperti film, komik, atau buku audio.
Penutup
Khazanah bahasa dan sastra di Indonesia sangat beragam, tetapi sebagian besar dari keberagaman itu berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Beberapa bahasa memang masih tergolong dalam posisi aman, tetapi tidak sedikit bahasa yang dalam posisi terancam, hampir punah, atau bahkan telah punah.
Dasar hukum yang melandasi kebijakan penanganan bahasa dan sastra daerah telah telah ditetapkan, baik dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Keduanya mencerminkan kemauan politik pemerintah yang nyata, tetapi realisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah belum optimal. Dalam rangka optimalisasi, beberapa provinsi telah melahirkan perda, demikian juga beberapa kementerian. Akan tetapi, optimalisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah belum dilakukan dalam batas-batas yang seharusnya.

Daftar Pustaka
     McMahon, April M.S. 1994. Understanding Language Change. Cambridge: Cambridge University Press.
         Nettle, Daniel dan Suzanne Romaine. 2000. Vanishing Voices: The Extinction of the World Languages. Oxford: Oxford University Press.
           Rachman, Arief. 2005. “The Role of Education in the Protection and Saving the Endangered Languages”. Paper of International Symposium the Dispersal of Austronesian and the Ethnogenesis of the Peoples in Indonesia. Solo, 28 June–1 July 2005.
    Salminen, Tapani. 1999. Unesco Red Book On Endangered Languages: Europe. http://www.helsinki.fi/~tasalmin/europe_index.html#state
         Sugiyono, Evarinayanti, dan Didi Suherdi. 2010. “On Bridging Student’s Learning in First Grades Using Mother Tongue : The Case on Sundanese Classrooms”. Paper presented on A Regional Meeting on the Dissemination of Project Results and Identification of Good Models (Arnoma Hotel, Bangkok, Thailand, 24-26 February 2009)
    UNESCO. A methodology for assessing language vitality and endangerment. http://www.unesco.org/new/en/culture/themes/endangered-languages/language-vitality/#topPage
            Wurm, Stephen A. (ed.). 2001. Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing. Paris: UNESCO Publishing.