Berikut ada 3 artikel yang terkait dangan bahasa Jawa.
1. PENGAJARAN BAHASA JAWA DI SD DAN SMP:
PEMIKIRAN KE ARAH SINERGINYA ANTARA KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PEMBINAAN BAHASA
DAERAH DI LAPANGAN
Udjang Pr. M. Basir (Dosen Bahasa Jawa FBS Universitas Negeri
Surabaya.
2. Ketimpangan Gender, Peran Buruh, Negara, dan Kapital:
Sebuah Pengantar Memahami Drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah
Sebuah Pengantar Memahami Drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah
Oleh Tubiyono
Abstrak
Dalam makalah ini diuraikan pendekatan ekstrinsik untuk membahas Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah. Pendekatan ekstrinsik, utamanya tentang tidak adanya kesetaraan gender sebagai akibat dominannya budaya patriarkhi. Ketimpangan gender semakin tampak ketika dikaitkan dengan kehidupan buruh dan dikorelasikan dengan kapital dan negara. Masalah-masalah (ekstrinsik) tersebut sangat berpengaruh terhadap lahirnya sebuah karya sastra. Oleh karena itu, setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami dengan baik karya yang dimaksud.
Dalam makalah ini diuraikan pendekatan ekstrinsik untuk membahas Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah. Pendekatan ekstrinsik, utamanya tentang tidak adanya kesetaraan gender sebagai akibat dominannya budaya patriarkhi. Ketimpangan gender semakin tampak ketika dikaitkan dengan kehidupan buruh dan dikorelasikan dengan kapital dan negara. Masalah-masalah (ekstrinsik) tersebut sangat berpengaruh terhadap lahirnya sebuah karya sastra. Oleh karena itu, setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami dengan baik karya yang dimaksud.
Pendahuluan
Sebuah karya sastra dapat dikaji melalui pendekatan ekstrinsik atau pun pendekatan intrinsik (Wellek, 1989:7 - 155). Pendekatan ekstrinsil lebih memfokuskan unsur eksternal, misalnya masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang dapat membentuk atau mewarnai sebuah karya sastra. Sebaliknya pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang memfokuskan unsur-unsur internal karya itu sendiri misalnya penokohan, plot, bahasa, dan sebagainya. Dalam tulisan ini akan dibahas masalah-masalah yang dapat dikategorikan pendekatan ekstrinsik sebagai bekal untuk memahami naskah drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah khususnya dari perspektif gender, peran buruh, dan negara.
http://www.tubiyono.com/belajar-bahasa/12-makalah/22-ketimpangan-gender-peran-buruh-negara-dan-kapital-sebuah-pengantar-memahami-drama-marsinah-nyanyian-dari-bawah-tanah.html
3. Pelindungan Bahasa Daerah dalam Kerangka Kebijakan Nasional Kebahasaan
Sugiyono
Pendahuluan
Indonesia sangat kaya dengan bahasa daerah dan
apalagi sastra daerah. Kekayaan itu di satu sisi merupakan kebanggaan, di sisi
lain menjadi tugas yang tidak ringan, terutama apabila memikirkan bagaimana
cara melindungi, menggali manfaat, dan mempertahankan keberagamannya. Dalam Ethnoloque
(2012) disebutkan bahwa terdapat 726 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan
berkembang, tetapi tidak dapat diingkari bahwa sebagian besar bahasa itu akan
punah. Menurut UNESCO, seperti yang tertuang dalam Atlas of the World’s
Language in Danger of Disappearing, di Indonesia terdapat lebih dari 640
bahasa daerah (2001:40) yang di dalamnya terdapat kurang lebih 154 bahasa yang
harus diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa yang
benar-benar telah mati. Bahasa yang terancam punah terdapat di Kalimantan (1
bahasa), Maluku (22 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera (67 bahasa),
Sulawesi (36 bahasa), Sumatra (2 bahasa), serta Timor-Flores dan Bima-Sumbawa
(11 bahasa). Sementara itu, bahasa yang telah punah berada di Maluku (11
bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera, Sulawesi, serta Sumatera
(masing-masing 1 bahasa).
Dalam keadaan itu, dapat dipastikan bahwa
bahasa Indonesia dapat hidup dan berkembang secara lebih baik. Tuntutan komunikasi
di daerah urban serta komunikasi di bidang politik, sosial, ekonomi, dan iptek
di Indonesia memberi peluang hidup yang lebih baik bagi bahasa Indonesia
walaupun bahasa Indonesia ini – sebagai bahasa nasional dan bahasa negara –
hanya menempati peringkat kedua dilihat dari nilai ekonominya. Dapat diduga,
posisi paling tinggi ditempati oleh bahasa asing, kedua bahasa Indonesia, dan
terakhir adalah bahasa daerah. Artinya, dengan bahasa Indonesia, kesempatan
orang Indonesia untuk meraih peluang ekonomi lebih besar daripada mereka yang
hanya menguasai bahasa daerah, meskipun masih lebih rendah dari peluang mereka
yang menguasai bahasa asing.
Hilangnya daya hidup bahasa daerah pada
umumnya disebabkan oleh pindahnya orang desa ke kota untuk mencari penghidupan
yang dianggap lebih layak dan perkawinan antaretnis yang banyak terjadi di
Indonesia. Masyarakat perkotaan, yang pada umumnya merupakan masyarakat
multietnis atau multilingual, memaksa seseorang harus meninggalkan bahasa
etnisnya dan menuju bahasa nasional. Cara itu dianggap lebih baik
daripada harus bersikap divergensi atau konvergensi dengan bahasa etnis yang
lain. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kompromistis dalam sebuah perkawinan
antaretnis. Pada umumnya, bahasa etnis setiap orang tua akan ditinggalkan dan
bahasa Indonesia kemudian digunakan dalam keluarga itu karena bahasa itu
dianggap sebagai bahasa yang dapat menghubungkan mereka secara adil.
Urbanisasi dan perkawinan antaretnis tidak
dapat dicegah, bahkan angka urbanisasi dan perkawinan antaretnis cenderung
meningkat. Dalam kondisi itu, akankah kita diam saja menghadapi tersingkirnya
bahasa daerah? Apa kebijakan pemerintah untuk melindungi bahasa dan sastra
daerah di Indonesia? Tulisan ini akan membahas kebijakan pemerintah dalam
melindungi bahasa dan sastra daerah, termasuk apa yang sudah dilakukan dan apa
yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
Bahasa Daerah dan Peraturan Perundang-Undangan
Pengaturan tentang bahasa daerah dalam
peraturan perundang-undangan bukanlah hal utama, kecuali dalam beberapa perda.
Pengaturan penggunaan bahasa daerah menjadi pelengkap pengaturan tentang bahasa
Indonesia atau bahasa negara. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional – termasuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950
jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 yang
menjadi cikal bakal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 –penggunaan bahasa daerah
diatur sebagai pelengkap penggunaan bahasa Indonesia yang diwajibkan dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia. Bahasa daerah boleh digunakan
pada tahap awal pendidikan untuk menyampaikan pengetahuan dan keterampilan
tertentu. Senada dengan itu, bahasa asing dapat pula digunakan sebagai bahasa
pengantar untuk mendukung pemerolehan kemahiran berbahasa asing peserta didik.
Baik bahasa daerah maupun bahasa asing mempunyi fungsi pendukung bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar utama dalam sistem pendidikan nasional.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar di kelas mejadi bukti bahwa sesungguhnya Indonesia sudah sejak tahun
1950 telah menerapkan prinsip EFA (education for all) yang dicetuskan
oleh Unesco baru pada tahun 1990-an. Penggunaan bahasa daerah sebagai pengantar
dunia pendidikan merupakan upaya menjangkau peserta didik yang belum mampu
mengikuti pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Hal itu sekaligus
juga menjadi bukti bahwa Indonesia juga telah menerapkan program MLE (multilingual
education) yaitu program pendidikan yang memanfaatkan bahasa pertama sebagai
bahasa pengantar di peringkat awal untuk kemudian suatu saat – umumnya pada
kelas III atau IV – beralih ke bahasa nasional. Program MLE itu baru dikenalkan
oleh Unesco pada tahun 2000-an.
Pelindungan terhadap bahasa daerah didasarkan
pada amanat Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara menghormati
dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan ayat itu,
negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan
dan mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing.
Selain itu, negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Kebebasan yang diberikan UUD 1945 bukan berarti
kebebasan yang tanpa pembatasan karena hingga pada batas tertentu pengembangan
dan penggunaan bahasa daerah pasti akan berbenturan dengan ketentuan lain.
Untuk keperluan bernegara, kebebasan penggunaan bahasa daerah yang diamanatkan
itu akan terbentur dengan batas penggunaan bahasa negara. Untuk keperluan hidup
dan pergaulan sosial, keleluasaan penggunaan satu bahasa daerah harus juga
menghormati penggunaan bahasa daerah lain. Dengan kata lain, keleluasaan
penggunaan dan pengembangan bahasa daerah dalam banyak hal juga tidak boleh
melanggar norma “sosial” dan norma perundang-undangan yang ada.
Untuk menjamin hubungan harmonis masyarakat
Indonesia atas penggunaan bahasanya, Pasal 36C UUD 1945 mengamanatkan bahwa
perihal bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus diatur
dalam sebuah undang-undang. Amanat pasal itulah yang melahirkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. Khusus tentang bahasa negara, pengaturannya dituangkan dalam Bab
III, mulai Pasal 25 sampai dengan Pasal 45 dalam undang-undang teresebut.
Ibarat sisi mata uang, pengaturan tentang bahasa negara, tentu berkaitan dengan
pengaturan bahasa yang bukan bahasa negara, yang dalam hal itu berupa bahasa daerah
dan bahasa asing.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang
disahkan berlakunya pada tanggal 9 Juli 2009 mengatur empat subtansi pokok,
yaitu bendera negara, bahasa negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Dalam
undang-undang itu, bahasa Indonesia dibatasi sebagai bahasa yang dinyatakan
sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 dan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal
28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan
dinamika peradaban bangsa.
Bahasa daerah diberi batasan sebagai bahasa
yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, bahasa asing diberi
batasan sebagai bahasa di Indonesia selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, baik bahasa daerah maupun bahasa
asing, memegang fungsi pendukung bagi bahasa Indonesia. Sebagai pendukung,
bahasa daerah dan bahasa asing dapat digunakan apabila fungsi bahasa Indonesia
tidak dapat dijalan secara efektif.
Dalam hal penggunaan, ditetapkan bahwa bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan; dokumen
resmi negara; pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang
lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri; pengantar dalam pendidikan
nasional; pelayanan administrasi publik; nota kesepahaman atau perjanjian;
forum resmi yang bersifat nasional atau forum resmi yang bersifat internasional
di Indonesia; komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta;
laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan;
penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia; nama geografi
di Indonesia; nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman,
perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, merek jasa, lembaga usaha,
lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia; informasi tentang produk barang atau jasa
produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia; rambu
umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang
merupakan pelayanan umum; dan informasi melalui media massa. Dalam kelima belas
ranah penggunaan itu, bahasa daerah (dan/atau bahasa asing) dapat digunakan
juga untuk mendukung fungsi bahasa Indonesia hingga batas tertentu. Dalam hal
layanan publik, misalnya, bahasa daerah dan bahasa asing dapat menyertai
penggunaan bahasa Indonesia dengan tetap mengutamakan penggunaan bahasa
Indonesia. Pengutamaan itu dapat diwujudkan dalam bentuk pola urutan, ukuran
tulisan, atau kemenonjolan tulisan itu.
Berkaitan dengan upaya pengembangan,
pembinaan, dan pelindungan bahasa, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 memberikan
kewenangan dan kewajiban penanganan bahasa dan sastra Indonesia kepada
pemerintah pusat dan memberikan kewenangan dan kewajiban penangan bahasa dan
sastra daerah kepada pemerintah daerah. Akan tetapi, dalam hal itu semua
pemerintah pusat diberi juga kewenangan merumuskan kebijakan nasional
kebahasaan yang di dalamnya juga memuat kebijakan tentang apa dan bagaimana
pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah itu harus dilakukan.
Pemerintah daerah juga diberi kewajiban mendukung pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa Indonesia. Sebaliknya, pemerintah pusat juga harus
memberikan dukungan, baik dukungan pendanaan maupun kepakaran, kepada
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa daerah.
Kebijakan Penanganan Bahasa Daerah
Sejak tahun 1970-an penanganan bahasa di
Indonesia didasarkan pada Politik Bahasa Nasional dan Keputusan Kongres Bahasa
Indonesia. Sejak tahun 2004, Politik Bahasa Nasional dan keputusan
kongres itu lebih menjadi draf RUU Kebahasaan yang akhirnya lahir dalam bentuk
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pada tanggal 9 Juli 2009. Selanjutnya, sejak
tahun 2009 itu, penanganan bahasa di Indonesia, baik bahasa negara, bahasa
daerah, maupun bahasa asing, didasarkan pada undang-undang itu.
Berdasarkan Pasal 41 dan Pasal 42
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, penanganan bahasa dan sastra daerah menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah dan dalam pelaksanaan tanggung jawab itu,
pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat sebagai pembuat
kebijakan nasional kebahasaan. Selain berupa pembagian tugas yang lebih
terperinci, koordinasi itu dapat juga berupa fasilitasi kepakaran dan dukungan
sumber daya.
Penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah
diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa dan sastra daerah. Dalam pengembangan bahasa dilakukan upaya
memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan
sistem bahasa, dan pengembangan laras bahasa. Dalam pembinaan bahasa dilakukan
upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa serta
pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan
bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap
positif masyarakat terhadap bahasa itu. Sementara itu, upaya pelindungan
dilakukan dengan menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian,
pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
Upaya pengembangan, pembinaan, dan pelestarian
bahasa dilakukan terhadap objek bahasa dan sastra berdasarkan kondisi atau
vitalitasnya. Pada tahun 2002 dan 2003, UNESCO dengan bantuan kelompok linguis
internasional menetapkan kerangka untuk menentukan vitalitas bahasa untuk
membantu pemerintah membuat kebijakan penanganan bahasa di negaranya. Kelompok
itu menetapkan sembilan kriteria untuk mengukur vitalitas bahasa. Kesembilan
faktor yang dijadikan kriteria vitalitas suatu bahasa adalah jumlah penutur,
proporsi penutur dalam populasi total, ketersediaan bahan ajar, respons bahasa
terhadap media baru, tipe dan kualitas dokumentasi, sikap bahasa dan kebijakan
pemerintah dan institusi, peralihan ranah penggunaan bahasa, sikap anggota
komunitas terhadap bahasanya, serta transmisi bahasa antargenerasi.
Berdasarkan kriteria itu, vitalitas bahasa
digolongkan menjadi enam kelompok (baca Salminen, 1999), yaitu
- bahasa yang punah (extinct languages), bahasa tanpa penutur lagi;
- bahasa hampir punah (nearly extinct languages), bahasa dengan sebanyak-banyaknya sepuluh penutur yang semuanya generasi tua;
- bahasa yang sangat terancam (seriously endangered languages), bahasa dengan jumlah penutur yang masih banyak, tetapi anak-anak mereka sudah tidak menggunakan bahasa itu;
- bahasa terancam (endangered languages), bahasa dengan penutur anak-anak, tetapi cenderung menurun;
- bahasa yang potensial terancam (potentially endangered languages) bahasa dengan banyak penutur anak-anak, tetapi bahasa itu tidak memiliki status resmi atau yang prestisius;
- bahasa yang tidak terancam (not endangered languages), bahasa yang memiliki transmisi ke generasi baru yang sangat bagus.
Bahasa di Indonesia mempunyai jumlah penutur
yang sangat beragam. Vitalitas bahasa daerah di Indonesia menyebar dari status
yang paling aman hingga yang benar-benar punah. Di antara bahasa di Indonesia,
terdapat tiga bahasa yang penuturnya lebih dari 10 juta jiwa, yaitu bahasa Jawa
(penuturnya 84,3 juta jiwa), bahasa Sunda (penuturnya 34 juta jiwa), dan bahasa
Madura (penuturnya 13,6 juta jiwa).
Penanganan bahasa daerah diklasifikan
berdasarkan pengelompokkan vitalitas bahasa tersebut. Pengembangan dan
pembinaan dilakukan terhadap bahasa masih dalam status tidak terancam (aman),
yaitu bahasa yang digunakan oleh penutur dari generasi muda sampai dengan
generasi tua hampir terdapat dalam semua ranah, dan terhadap bahasa yang
mempunyai potensi terancam, yaitu bahasa yang penutur anak-anaknya masih
banyak, tetapi bahasa itu tidak memiliki status resmi atau status yang
prestisius. Bahasa dalam vitalitas kedua itu masih dapat direvitaslisasi.
Dengan pengembangan bahasa itu, kita akan mempunyai korpus yang memadai untuk
membahasakan apa saja, mempunyai akselerasi yang bagus terhadap dunia
pendidikan dan perkembangan iptek, serta dapat mengantisipasi munculnya media
baru. Pembinaan dilakukan agar bahasa itu mempunyai transmisi antargenerasi
yang baik, baik transmisi melalui dunia pendidikan maupun transmisi melalu
interaksi dalam ranah keluarga. Termasuk dalam upaya pengembangan dan
pelindungan adalah memantapkan status bahasa, mengoptimalkan dokumentasi, serta
menumbuhkan sikap positif penuturnya.
Pelindungan terhadap bahasa dilakukan
sekurang-kurangnya dua tingkat, yaitu tingkat dokumentasi dan tingkat
revitalisasi. Pelindungan bahasa di tingkat dokumentasi akan dilakukan pada
bahasa yang sudah tidak ada harapan untuk digunakan kembali oleh masyarakatnya.
Bahasa yang dalam keadaan hampir punah dan bahasa yang sangat teracam hanya
dapat dilindungi dengan mendukokumentasikan bahasa itu sebelum bahasa itu punah
yang sebenarnya. Dokumentasi itu penting untuk menyiapkan bahan kajian jika
suatu saat diperlukan.
Pelindungan terhadap bahasa yang masih
digunakan oleh penutur dari sebagian generasi muda dalam hampir semua ranah
atau oleh semua generasi muda dalam ranah keluarga dan agama serta kegiatan
adat dilakukan revitalisasi untuk pelestarian. Untuk revitalisasi itu,
diperlukan tahap pendahuluan yang meliputi pedokumentasian, pengkajian, dan
penyusunan bahan revitalisasi, seperti kamus, tata bahasa, dan bahan ajar.
Untuk bahasa yang akan direvitalisasi, harus disiapkan sistem ortografi yang
memungkinkan bahasa itu diterima dalam media baru.
Dalam hal sastra, pengembangan akan dilakukan
terhadap sastra yang bermutu dan bernilai luhur. Sastra yang seperti itu juga
akan didukung upaya pembinaan agar tradisi bersastra di kalangan sastrawan
pemula dan penikmat sastra tumbuh secara baik. Pelindungan sastra lisan
dilakukan untuk merevitalisasi sastra yang hanya tinggal berfungsi sebagai sarana
adat, ibadah, atau hiburan. Pelindungan sastra tulis, baik dalam bentuk fisik
maupun nilai yang terkandung di dalamnya, dilakukan terhadap karya sastra yang
bernilai luhur untuk aktualisasi. Aktualisasi yang dimaksud adalah penuangan
dalam bentuk aktual atau mengadaptasi karya itu melalui alih aksara, alih
bahasa, dan alih wahana menjadi karya, seperti seperti film, komik, atau buku
audio.
Penutup
Khazanah bahasa dan sastra di Indonesia sangat
beragam, tetapi sebagian besar dari keberagaman itu berada dalam kondisi yang
memprihatinkan. Beberapa bahasa memang masih tergolong dalam posisi aman,
tetapi tidak sedikit bahasa yang dalam posisi terancam, hampir punah, atau
bahkan telah punah.
Dasar hukum yang melandasi kebijakan
penanganan bahasa dan sastra daerah telah telah ditetapkan, baik dalam UUD 1945
maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Keduanya mencerminkan kemauan politik
pemerintah yang nyata, tetapi realisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa dan sastra daerah belum optimal. Dalam rangka optimalisasi,
beberapa provinsi telah melahirkan perda, demikian juga beberapa kementerian.
Akan tetapi, optimalisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa
daerah belum dilakukan dalam batas-batas yang seharusnya.
Daftar Pustaka
McMahon, April M.S.
1994. Understanding Language Change. Cambridge: Cambridge University
Press.
Nettle, Daniel dan Suzanne Romaine. 2000. Vanishing Voices: The Extinction
of the World Languages. Oxford: Oxford University Press.
Rachman, Arief. 2005. “The Role of Education in the Protection and Saving the
Endangered Languages”. Paper of International Symposium the Dispersal of
Austronesian and the Ethnogenesis of the Peoples in Indonesia. Solo, 28
June–1 July 2005.
Salminen,
Tapani. 1999. Unesco Red Book On Endangered Languages: Europe. http://www.helsinki.fi/~tasalmin/europe_index.html#state
Sugiyono, Evarinayanti, dan Didi Suherdi. 2010. “On Bridging Student’s Learning
in First Grades Using Mother Tongue : The Case on Sundanese Classrooms”. Paper
presented on A Regional Meeting on the Dissemination of Project Results and
Identification of Good Models (Arnoma Hotel, Bangkok, Thailand, 24-26
February 2009)
UNESCO. A methodology
for assessing language vitality and endangerment. http://www.unesco.org/new/en/culture/themes/endangered-languages/language-vitality/#topPage
Wurm, Stephen A. (ed.). 2001. Atlas of the World’s Language in Danger of
Disappearing. Paris: UNESCO Publishing.